Perceraian tidak hanya berdampak pada hubungan suami-istri, tetapi juga pada masa depan anak-anak yang terlibat. Salah satu isu yang sering muncul setelah perceraian adalah mengenai siapa yang mendapatkan hak asuh anak.
Di Indonesia, penentuan hak asuh anak setelah perceraian diatur oleh undang-undang yang bertujuan untuk melindungi kepentingan terbaik anak.
1. Hak Asuh Anak Berdasarkan Usia
Menurut Pasal 41 huruf (a) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, setelah perceraian, kedua orang tua tetap memiliki kewajiban untuk mengurus dan membiayai anak-anak mereka. Namun, untuk anak-anak di bawah usia 12 tahun (yang disebut anak yang belum mumayyiz), hak asuh umumnya diberikan kepada ibu. Ketentuan ini juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), khususnya dalam Pasal 105 huruf (a), yang menyatakan bahwa:
“Dalam hal terjadi perceraian, pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.”
Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa ibu memiliki peran lebih dominan dalam merawat dan mengasuh anak-anak yang masih kecil. Kendati demikian, ayah tetap diwajibkan untuk menanggung biaya pemeliharaan anak, sebagaimana diatur dalam Pasal 105 huruf (c) KHI, yang menyebutkan bahwa biaya pemeliharaan anak adalah tanggung jawab ayah.
Baca Juga : Syarat Perceraian Menurut Hukum di Indonesia
2. Hak Asuh Anak yang Sudah Mumayyiz
Untuk anak yang sudah berumur 12 tahun ke atas (disebut anak yang sudah mumayyiz), Kompilasi Hukum Islam memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih ingin tinggal dengan siapa. Pasal 105 huruf (b) KHI menyatakan:
“Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak asuh.”
Meskipun begitu, pengadilan tetap berwenang memutuskan berdasarkan kepentingan terbaik anak. Faktor-faktor seperti kemampuan orang tua untuk memenuhi kebutuhan emosional, fisik, dan pendidikan anak akan dipertimbangkan oleh hakim.
3. Pengaruh Faktor Lain dalam Penentuan Hak Asuh
Hakim dalam memutuskan hak asuh anak tidak hanya melihat pada aturan usia saja, tetapi juga mempertimbangkan beberapa faktor lain. Pasal 45 UU No. 1 Tahun 1974 menegaskan bahwa:
“Orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya sampai anak tersebut menikah atau mandiri.”
Beberapa faktor yang menjadi pertimbangan pengadilan dalam memutuskan hak asuh antara lain:
- Kesejahteraan dan keamanan anak: Pengadilan akan mempertimbangkan siapa yang lebih mampu memberikan keamanan dan kesejahteraan bagi anak.
- Hubungan antara anak dan orang tua: Kedekatan emosional antara anak dengan ayah atau ibu juga menjadi pertimbangan penting.
- Kondisi mental dan fisik orang tua: Kesehatan fisik dan mental orang tua akan dipertimbangkan oleh pengadilan untuk memastikan bahwa anak mendapatkan asuhan yang tepat.
4. Kemungkinan Hak Asuh Jatuh ke Ayah
Meskipun hak asuh anak di bawah 12 tahun umumnya diberikan kepada ibu, ada beberapa kondisi di mana pengadilan bisa memberikan hak asuh kepada ayah. Pasal 156 huruf (c) KHI menyebutkan bahwa:
“Pemeliharaan anak dapat diberikan kepada ayah jika terbukti bahwa ibu tidak mampu melaksanakan kewajiban-kewajibannya sebagai pengasuh anak dengan baik.”
Faktor-faktor seperti ketidakmampuan finansial, kesehatan mental, atau perilaku yang dianggap tidak sesuai dapat menjadi dasar bagi ayah untuk mengajukan hak asuh anak. Pengadilan akan selalu mempertimbangkan apa yang dianggap terbaik untuk anak.
Baca Juga : Pengacara Dalam Mengurus Perceraian
5. Kewajiban Nafkah Setelah Perceraian
Setelah perceraian, baik hak asuh diberikan kepada ayah maupun ibu, tetap ada kewajiban finansial yang harus dipenuhi. Berdasarkan Pasal 41 huruf (c) UU Perkawinan, ayah tetap berkewajiban untuk membiayai anak meskipun hak asuh berada di tangan ibu. Jumlah nafkah yang harus diberikan oleh ayah biasanya ditentukan oleh pengadilan berdasarkan kondisi keuangan dan kebutuhan anak.
Kesimpulan
Dalam konteks hukum Indonesia, hak asuh anak setelah perceraian sangat bergantung pada usia anak dan faktor-faktor yang memengaruhi kesejahteraan mereka. Ibu umumnya mendapatkan hak asuh untuk anak di bawah 12 tahun, sedangkan anak yang lebih tua diberi kebebasan memilih.
Pengadilan selalu mengutamakan kepentingan terbaik anak dalam setiap keputusan terkait hak asuh, sehingga pertimbangan menyeluruh terhadap kondisi fisik, mental, dan emosional anak akan menjadi dasar penentuan hak asuh tersebut.
Dengan memahami aturan dan pasal-pasal yang mengatur hak asuh anak setelah perceraian, orang tua dapat lebih siap dalam menjalani proses hukum ini dan memastikan anak-anak mereka tetap mendapatkan pengasuhan yang terbaik.